Sunday, May 18, 2008

Ketua PCIM-Jepang : Nasionalisme Masih Sekadar Retorika

Sumber di Tabloid Gatra (http://www.gatra.com/artikel.php?id=114777)
Tokyo, 17 Mei 2008 07:56
Sejumlah warga negara Indonesia (WNI) yang berada di Jepang, khususnya Tokyo, menilai saat ini nasionalisme masih dijadikan sekadar retorika oleh para pemimpin nasional dan juga masih banyaknya rakyat Indonesia yang memahami paham kebangsaan itu secara sempit.

Demikian pandangan sejumlah WNI baik dari kalangan intelektual, diplomat, maupun warga biasa, di Tokyo, seperti dikutip dari Antara, Jum`at (16/5), berkaitan dengan peringatan seabad Hari Kebangkitan Nasional (Harkinas) yang jatuh pada 20 Mei mendatang.

Dalam perbincangannya baik melalui telepon, e-mail, maupun dialog langsung, usai shalat Jum`at, banyak warga juga berharap bahwa kebangkitan nasional bisa menjadi momentum bagi upaya membangun kemandirian bangsa dengan peran utama berada di pundak para pemimpin nasional.

Ketua cabang Muhammadiyah Jepang, Muhammad Kustiawan, mengatakan, nasionalisme saat ini sekadar retorika yang didengung-dengungkan para pemimpin nasional, namun mentah dalam implementasinya. "Makna sesungguhnya dari nasionalisme menjadi sekadar kalimat yang tidak bermakna bagi rakyat. Pemahaman nasionalisme juga didominasi oleh pengertian subyektif para pemimpin," ujarnya.
Pandangan yang menuntut peran pemimpin juga disampaikan oleh tokoh olahraga Kempo Indonesia di Jepang, Boy Adiwibowo, yang melihat perlunya rasa persatuan lebih dulu ditunjukkan para pemimpin nasional, sehingga rakyat memiliki patron yang jelas dan terarah. "Kalau perlu dibentuk suatu koalisi para pemimpin yang bisa menjadi bukti nyata dari nasionalisme itu," kata Boy yang juga Kepala Perwakilan PT Pertamina di Jepang.

Ketua Himpunan Alumni Jepang (Persada) di Tokyo, Pudjiatmoko, yang juga Atase pertanian KBRI Tokyo, mengakui bahwa peran moral dan pengorbanan dari seorang pemimpin bisa menjadi motor yang kuat dalam membangun nasionalisme rakyat.

Nasionalisme dalam pandangan mereka juga diarahkan dalam upayanya membangun kemandirian bangsa yang berwujud dalam semangat membangun budaya unggul, sehingga mampu memberi nilai tambah akan keberadaan suatu bangsa.

Dalam banyak hal, masyarakat Indonesia di Jepang juga membandingkannya dengan semangat nasionalisme di Jepang yang tetap kuat, meski Jepang juga terlihat `berjuang` terus untuk menyesuaikannya dengan tuntutan globalisasi.

"Nasionalisme masyarakat Jepang masih kuat, karena mereka sadar kalau sebagai bangsa mereka memiliki suatu nilai tambah. Semangat bushido-nya? Terlihat dari kerja keras, disiplin kemauan untuk terus maju," kata Agus Nawi, satu-satunya manajer berkebangsaan Indonesia di sebuah perusahaan terkenal di Tokyo yang khusus menjual alat-alat elektronik.

Agus lantas mencontohkan betapa rakyat Jepang tetap mencintai produknya sendiri. Kalaupun harus membeli produk buatan negara lain, setidaknya pada umumnya tetap berasal dari merek-merek Jepang.

Lebih jauh pandangan nasionalisme juga diakui oleh mereka sedang mengalami penurunan makna, sehingga tidak heran sebagian bangsa Indonesia juga mengartikannya secara sempit, sebagai bentuk patriotisme (cinta tanah air) yang sempit. "Harus diakui kalau nasionalisme tergerus oleh jaman, namun sebetulnya rasa nasionalisme itu masih ada di dada setiap rakyat Indonesia. Semangat itulah yang perlu dijaga," kata Mayor (Inf) Indra Sakti Handoyo, perwira pembantu Atase Pertahanan di KBRI Tokyo.

Indra kemudian mencontohkan bagaimana saat terjadinya bencana tsunami di Aceh dan gempa di Yogyakarta, jutaan rakyat Indonesia memberikan pertolonganya kepada sesama warganya yang berada di Aceh, meski ada keterbatasan dan kendala dalam melaksanakannya.

Hal senada juga dikatakan Pudjiatmoko, yang menekankan perlunya mengajarkan nasionalisme sebagai hal yang sederhana dan membumi. Nasionalisme tidak terlepas dari upaya mengatasi persoalan nasional yang ada di dean mata, seperti korupsi, pendidikan dan penegakan hukum. "Bagi saya, nasionalisme itu harus ditunjukkan secara sederhana. Bagaimana berdisiplin, bekerja keras dan memberi yang terbaik dibidang apa saja, seperti yang ditunjukkan Jepang dengan budaya unggulnya. Setelah itu barulah berbicara dalam konteks yang lebih luas," jelasnya.

No comments: